KH Ahmad Nashoha, Rais Syuriyah Pertama PCNU Kebumen

KH Ahmad Nashoha, Rais Syuriyah Pertama PCNU Kebumen

 

Oleh: Hamdan Habib Haidar, S.Th.I, M.Pd

Disampaikan pada Halaqoh Pesantren: “Interpretasi Historisitas Pesantren dan NU Dalam Ghiroh Perjuangan Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah di Kebumen

Hari/Tanggal: Sabtu 20 Agustus 2022

KH Ahmad Nashoha (1894-1966) kecil memiliki nama Ahmad Nasikhah, namun di kemudian hari beliau lebih dikenal dengan KH Ahmad Nashoha, oleh masyarakat Kebumen, Jawa Tengah akrab dengan panggilan Mbah Nashoha.

Ahmad Nashihah lahir sekitar tahun 1894 M di Dukuh Wonoyoso, Bumirejo, Kebumen, sebuah desa di pusat kota Kebumen. Beliau adalah putra dari KH Muhammad Isma’il. Kiai Isma’il sendiri merupakan putra dari Kiai Muhammad Iman, pengasuh dari Masjid Saka Tunggal sebuah masjid yang berada di desa Pekuncen, Kecamatan Gombong, Kabupaten Kebumen.

Ayah beliau, KH Muhammad Isma’il hijrah dari Desa Pekuncen ke Desa Kritig selama 3 tahun untuk njejeri Masjid Kritig Petanahan, dan selanjutnya hijrah ke Bumirejo karena mendapatkan dawuh dari salah seorang prajurit Pangeran Diponegoro yang bernama Mbah Dipaleksana. Beliau diberi mandat untuk njejeri sebuah masjid di Dukuh Wonoyoso Desa Bumirejo, Kebumen.

Menurut cerita yang berkembang di masyarakat, masjid tersebut adalah masjid tiban, yang tidak diketahui asal usul dan siapa pendirinya. Masjid tersebut sampai sekarang ada, berada di Komplek Pondok Pesantren Salafiyah Wonoyoso dan diberi nama Masjid Jami’ Salafiyah.

Cerita yang lain menyebutkan bahwa Masjid Salafiyah ditemukan oleh Syech ‘Arfiyah pada masa penjajahan Belanda. Syech ‘Arfiyah bin Syech Mursyid adalah seorang ulama yang pernah menjabat sebagai Bupati Panjer, nama kadipaten sebelum terbentuknya Kabupaten Kebumen.

Masjid Salafiyah sempat mengalami fatroh dari kepengasuhan dan bimbingan seorang kiai. Karena, KH. Muhammad Isma’il, ayah dari KH Ahmad Nasokhah ini wafat di Mekkah ketika beliau sedang menunaikan ibadah haji. Sedangkan Ahmad Nasikhah muda saat itu masih menuntut ilmu  di pondok pesantren.

Dalam kekosongan itu, posisi pengasuh masjid salafiyah dipegang oleh Kakak kandungnya KH Ali Murtadlo. Pengasuh Masjid Salafiyyah diteruskan kembali oleh KH Akhmad Nashokhah sepulang dari menimba ilmu di tanah suci Mekkah, sedangkan KH Murtadlo membuat mushola sendiri di komplek Pesantren Al-Hidayah.

Perjalanan Menuntut Ilmu

Ahmad Nasokhah muda merupakan seorang santri yang sangat tekun dan memiliki himmah yang kuat dalam menuntut ilmu. Pertama kali beliau belajar agama kepada ayahandanya, KH Muhammad Isma’il. Kemudian melanjutkan menimba ilmu agama (tholabul ilmi) dan berkhidmah dari pesantren satu ke pesantren yang lain.

Beberapa pesantren di tanah Jawa pernah disinggahinya adalah Pondok Pesantren Bogangin, Sumpyuh Banyumas, Pondok Punduh Tempuran Magelang, Pondok Pesantren Mangkang Semarang, Ciwaringin Cirebon. Beliau juga pernah tirakat di Petilasan Syekh Baribin Grenggeng sebelum akhirnya memutuskan untuk berguru kepada KH Hasyim Asy’ari Tebuireng.

Namun Ahmad Nashokhah tidak bertahan lama menuntut ilmu di Tebuireng, setelah mendapat mandat dari KH. Hasyim Asy’ari untuk segera pulang berdakwah menyebarkan Syari’at Islam di Dukuh Wonoyoso.

Sekembalinya dari Tebuireng merasa ilmunya masih belum cukup, beliau melanjutkan cita-citanya untuk memperdalam ilmu (tabahhur fil ‘ilmi) ke tanah suci. Ahmad Nasikhah berangkat Haji ditemani oleh kakaknya KH. Murtadlo, namun kakaknya setelah haji pulang ke tanah air lebih dahulu, dan Ahmad Nasokhah melanjutkan belajar di tanah suci Mekkah dan bermukim di sana selama kurang lebih 7 tahun (1915-1922 M). Dengan kesungguhannya dalam menimba ilmu, tidak mengherankan apabila disana beliau memilik santri berjumlah sekitar 400 orang, dan di sela-sela kegiatan belajar dan mengajarnya beliau juga ditunjuk sebagai Imam Masjidil Haram, sampai diberi lahan beberapa hektar oleh kerajaan Saudi, untuk mendirikan pesantren.

Mendirikan Pesantren

Kepulangan KH. Ahmad Nasokhah dari Makkah disebabkan oleh penakhlukan Hijaz saat itu, dan KH. Ahmad Nasokhah menjadi salah satu ulama yang ditargetkan untuk dibunuh, lalu beliau memutuskan untuk pulang membawa salah satu santrinya Bernama Syekh Yasin Musa yang akhirnya Wafat di Kutoarjo.

Sekembalinya dari tanah suci, KH Ahmad Nashoha merintis sebuah pesantren pada sekitar tahun 1922. Model pengajaran yang digunakan masih menggunakan metode salaf, yaitu sistim sorogan dan bandungan. Bahkan hingga sekarang pesantren ini dikenal dikenal dengan nama Pondok Pesantren Salafiyah.

Disela-sela kesibukan mengelola pesantren, KH Ahmad Nashoha masih sering tirakat sebagai pendekatan beliau kepada Allah. Bahkan sekali waktu beliau melakukan ‘uzlah, menyendiri di sebuah tempat untuk beberapa waktu untuk mengasah ketajaman batin ditemani santrinya. Tempat yang pernah didatangi adalah hutan Kumbangkangkung di daerah Gunung Grenggeng, yang merupakan petilasan Syekh Baribin.

Menurut cerita dari Nyai Fatmah, putri beliau yang merupakan ibunda dari Gus Taha, ketika melakukan ‘uzlah di Gunung Grenggeng ini, karomah Mbah Nasokha sering muncul. Konon, setiap mau mengambil air wudlu beliau hanya menancapkan telunjuk jarinya ke tanah. Biqudrotillah, air yang segar memancar dari dalam tanah untuk beliau berwudlu.

KH Akhmad Nashoha menikah dua kali, Pertama dengan Nyai Radinah dan tidak memiliki anak dan pernikahan kedua dengan Nyai Roji’ah. Dengan Nyai Roji’ah, beliau memiliki 3 anak, diantaranya adalah Fatmah, ‘Aisyah dan Khodija.

Perjuangan Melawan Penjajah

Perjalanan perkembangan Islam di Indonesia, khususnya di Kebumen tidak bisa dilepaskan dari torehan tinta dan tetesan darah para kiai dan ulama.

KH Ahmad Nashoha, adalah salah satu sosok ulama yang ikut terjun dalam perjuangan melawan penjajah dan berkontribusi dalam perkembangan Islam di Kebumen. Hidup di masa penjajahan, menuntut KH Akhmad Nashoha dan santrinya yang juga sebagai laskar Hizbullah dan Sabilillah, ikut berjuang melawan penjajahan.

Menurut kesaksian KH Muhdi Ali, salah satu keponakan beliau, KH Akhmad Nashoha pernah berangkat perang ke Ambarawa. Beliau mendapat amanah tugas untuk membebaskan para kiai yang ditahan oleh penjajah kolonial Belanda (20 Oktober-15 Desember 1945).

Menurut cerita Kiai Ali Muhdi, KH Ahmad Nashoha memiliki sebuah jimat berupa tongkat kecil (tongkat komando) seperti mata tombak. Konon, senjata ini diyakini sebagai pemberian dari Sunan Kalijaga. Sebagai keponakan yang cukup dekat dekat dengan KH Ahmad Nashoha, Ali Muhdi saat masih kecil tidak hanya pernah melihat bahkan sering memegang senjata tersebut. Dengan berbekal jimat inilah, KH Ahmad Nashoha menundukkan para penjaga tahanan dan membebaskan para kiai yang ditahan penjajah Belanda.

Perjuangan di NU

Nahdlatul Ulama Cabang Kabupaten Kebumen dirintis pada sekitar tahun 1936. Perjalanan dan perkembangan NU di Kebumen, merupakan salah satu buah perjuangan dari KH Ahmad Nashoha.

KH Ahmad Nashoha yang merintis berdirinya PCNU Kebumen pada sekitar tahun 1936. Sebagai salah seorang santri dari Hadrotusyaikh Syeikh KH Hasyim Asy’ari, beliau mendapat dawuh langsung membuat cabang kepengurusan NU di Kebumen.

Bukti sejarah berdirinya NU Cabang Kebumen bisa dilihat dari piagam pendirian yang ditandatangani oleh KH Mahfudz Sidiq dan Haji Aziz Dijar, selaku Ketua dan Sekretaris Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada saat itu.

Menurut cerita Kiai Ali Muhdi, pernah dalam sebuah acara NU sekitar tahun 1942, Simbah KH Hasyim Asy’ari sendiri menyempatkan untuk hadir di Kebumen. Sang Pendiri NU ini hadir bersama putra beliau KH Wahid Hasyim dan cucu kesayangannya, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang saat itu masih kecil. Kehadiran tiga tokoh utama dari keluarga pendiri NU di Kebumen ini seakan-akan menjadi sebuah isyarah akan berkembang dan tumbuh suburnya NU di Kebumen. Tidak mengherankan apabila Kebumen saat ini menjadi salah satu basis kuat NU di Jawa Tengah. Dalam sebuah pidato Gus Dur pernah menyebutkan bahwa Kebumen adalah merupakan basis NU, atau menurut beliau Kebumen adalah daerah jalur hijau di Jawa Tengah bagian selatan.

Pengurus Cabang NU Kebumen pada periode pertama (1936-1942) dijabat oleh KH Akhmad Nasoha sebagai Rais Syuriyah yang pertama kali. Didampingi para kiai yang lain, diantaranya KH Abdullah Affandi (sebagai Ketua I), KH Abu Jar’i (sebagai Ketua II) dan H Ashari (sebagai Sekretaris). Sekretariat PCNU Kebumen sendiri pada awal-awal pendirian ditempatkan di Pondok Pesantren Salafiyah Wonoyoso.

KH Ahmad Nashoha wafat pada tahun 1966 dalam usia 72 tahun. Pesantren Salafiyah diteruskan oleh menantu beliau KH Fathurrohman, namun berselang dua tahun kemudian sang menantu wafat menyusul mertuanya. Saat ini Pesantren Salafiyah diasuh oleh cucu beliau KH Muntaha Mahfudz atau dikenal Gus Taha. (Lakpesdam)

Add a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *